Selasa, 17 Mei 2011

fungsi jiwa

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Fungsi jiwa telah menjadi bagian penting dari ilmu jiwa. Dan informasi komunikasi psikologi yang kita pelajari yang tampak dalam hubungannya dengan tubuh atau gejala-gejala jiwa yang nampak sebagai gerak-gerik karena sifatnya yang abstrak. Tidaklah lengkap jika dalam mempelajari Psikologi tidak memahami tentang pengamatan, perhatian, fantasi, perasaan.

B.     RUMUSAN MASALAH
Dari tema yang di ambil maka dapat dibuat suatu rumusan masalah sebagai berikut:
  1. Apa yang dimaksud dengan pengamatan dan bagaimana proses yang terajadi?
  2. Apa yang dimaksud dengan perhatian dan macam-macamnya?
  3. Apa yang dimaksud dengan fantasi dan apa pula yang meambuat terjadinya fantasi?
  4. Apa yang dimaksud dengan perasaan?

C.    TUJUAN
Adanya makalah ini bertujuan untuk memecahkan rumusan masalah yang telah dibuat oleh penulis, sekaligus dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan referensi dalam menyelesaikan permasalahan yang terkait dengan Psikologi.  




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengamatan
Pengamatan ialah proses mengenal dunia luar dengan menggunakan indera. Kita mengamati sesuatu dengan menggunakan alat-alat indera, yaitu:
1)      Indera penglihat.
2)      Indera pendengar.
3)      Indera pembau.
4)      Indera perasa atau pengecapan.
5)      Indera peraba.
6)      Indera keseimbangan.
7)      Indera perasa urat daging (kinestesi).
8)      Indera perasa jasmaniah (organis).
Proses pengamatan itu melalui 3 saat, yakni:
1.      Saat alami (saat physis) : saat indera kiat menerima perangsang dari alam luar.
2.      Saat jasmani (saat physiologis) : saat perangsang itu diteruskan oleh urat syaraf sensoris ke otak.
3.      Saat rohani (saat psychis) : saat sampainya perangsang itu ke otak, kita menyadari perangsang itu dan bertindak.
Syarat-syarat terjadinya pengamatan :
1.      Ada perhatian kita kepada perangsang itu.

B.     Perhatian
Perhatian merupakan pemusatan atau konsentrasi dari seluruh aktivitas individu yang ditujukan kepada suatu objek atau sekumpulan objek. Jika individu sedang memperhatikan sesuatu benda misalnya, ini berarti bahwa seluruh aktivitas individu dicurahkan atau dikonsentrasikan kepada benda tersebut. Tetapi di samping itu individu juga dapat memperhatikan banyak objek sekaligus dalam satu waktu. Jadi, yang dicakup bukanlah hanya satu objek, tetapi sekumpulan objek-objek. Sudah tentu tidak semua onjek tersebut dapat diperhatikan secara sama. Jadi, perhatian merupakan penyeleksian terhadap stimulus.
Dengan demikian maka apa yang diperhatikan akan betul-betul disadati oleh individu, dan akan betul-betul jelas bagi individu yang bersangkutan. Karena itu perhatian dan kesadaran akan mempunyai korelasi yang positif. Makin diperhatikan suatu objek akan makin disadari objek itu dan makin jelas bagi individu.
Jadi apa yang diperhatikan betul-betul disadari, dan ada dalam pusat kesadaran. Hal-hal lain yang tidak sepenuhnya diperhatikan akan terletak di luar pusat kesadaran. Makin jauh dari pusat kesadaran makin kurang diperhatikan, dan makin kurang disadari. Secara skematis hal itu dapat dikemukakan sebagi berikut:
Daerah pertama, merupakan daerah yang benar-benar diperhatikan, merupakan bagian yang disadari sepenuhnya. Jadi kalau misalnya seseorang memperhatikan sebuah arloji, maka arloji itu betul-betul disadarinya dan terdapat dalam pusat kesadaran. Tetapi di samping itu juga terdapat ha-hal atau keadaan-keadaan lainnya yang hanya samar-samar disadari. Ini adalah termasuk dalam daerah peralihan, yaitu daerah kedua (intermediate field). Daerah ini tidak sepenuhnya diperhatikan oleh individu yang bersangkutan. Daerah ketiga merupakan daerah yang sama sekali tidak diperhatikan oleh individu, karena itu tidak disadari. Dengan demikian dapat dikemukakan makin jauh objek dari pusat kesadaran, objek itu akan makin kurang disadari oleh individu.
Tidak semua stimulus akan disadari atau akan dipersepsi oleh individu. Dapat tidaknya dipersepsi sesuatu stimulus tergantung kepada stimulus itu sendiri dan individu yang bersangkutan. Dengan demikian stimulus bukanlah merupakan satu-satunya faktor hingga terjadi persepsi. Stimulus hanyalah merupakan salah satu faktor atau syarat yang pada umumnya terletak di luar individu, yang dapat menimbulkan persepsi pada individu yang bersangkutan.
Ditinjau dari segi timbulnya, perhatian dapat dibedakan atas perhatian spontan dan perhatian tidak spontan:
1)      Perhatian spontan, yaitu perhatian yang timbul dengan sendirinya, timbul secara spontan. Perhatian ini erat hubungannya dengan minat individu. Apabila individu telah mempunyai minat pada suatu objek, maka terhadap objek itu biasanya timbul perhatian yang spontan, secara otomatis perhatian itu akan timbul. Misalnya apabila seseorang mempunyai minat terhadap musik, maka secara spontan perhatiannya akan tertuju kepada musik yang didengarnya.
2)      Perhatian tidak spontan, yaitu perhatian yang ditimbulkan dengan sengaja, karena itu harus ada kemauan untuk menimbulkannya. Seorang murid mau tidak mau harus memperhatikan pelajaran sejarah misalnya, sekalipun ia tidak menyenanginya, karena ia harus mempelajarinya. Karena itu untuk dapat mengikuti pelajaran tersebut, dengan sengaja harus ditimbulkan perhatiannya.
Dilihat dari banyaknya objek yang dapat dicakup oleh perhatian pada suatu waktu, perhatian dapat dibedakan menjadi 2, yaitu:
1)      Perhatian yang sempit, yaitu perhatian individu pada suatu waktu hanya dapat memperhatikan sedikit objek.
2)      Perhatian yang luas, yaitu perhatian individu yang pada suatu waktu dapat memeprhatikan banyak objek sekaligus. Misalnya, orang melihat pasar malam, ada orang yang dapat menangkap banyak objek sekaligus, tetapi sebaliknya ada orang yang tidak dapat berbuat demikian.

C.    Fantasi
Yang dimaksud dengan fantasi ialah kemampuan jiwa untuk membentuk tanggapan-tanggapan atau bayangan-bayangan baru. Dengan kekuatan fantasi manusia dapat melepaskan diri dari keadaan yang dihadapinya dan menjangkau ke depan, ke keadaan-keadaan yang akan mendatang. Fantasi sebagai kemampuan jiwa manusia dapat terjadi:
1)      Secara disadari, yaitu apabila individu betul-betul menyadari akan fantasinya. Misal seorang pelukis yang sedang menciptakan lukisan dengan kemampuan fantasinya, seorang pemahat yang sedang memahat arca atas dasar daya fantasinya.
2)      Secara tidak disadari, yaitu apabila individu tidak secara sadar telah dituntun oleh fantasinya. Keadaan semacam ini banyak dijumpai pada anak-anak. Anak sering mengemukakan hal-hal yang bersifat fantastis, sekalipun tidak ada niat atau maksud dari anak untuk berdusta. Misal seorang anak memberikan berita yang tidak sesuai dengan keadaan senyatanya, sekalipun ia tidak ada maksud untuk berbohong. Dalam hal semacam ini anak dengan tidak disadari di tuntun oleh fantasinya.
Fantasi umumnya merupakan aktivitas yang menciptakan. Tetapi sekalipun demikian sering dibedakan antara fantasi yang menciptakan dan fantasi yang dipimpin.
Fantasi yang menciptakan yaitu merupakan bentuk atau jenis fantasi yang menciptakan sesuatu. Misal seorang ahli mode pakaian menciptakan model pakaian atas dasar daya fantasinya; seorang pelukis menciptakan sesuatu lukisan atas dasar fantasinya.
Fantasi yang dituntun atau yang dipimpin yaitu merupakan bentuk atau jenis fantasi yang dituntun oleh pihak lain. Misal seorang yang melihat film, orang ini dapat mengikuti apa yang dilihatnya dan dapt berfantasi tentang keadaan atau tempat-tempat lain dengan perantaraan film itu, sehingga dengan demikian fantasinya tuntun oleh film tersebut. Demikian pula jika orang berfantasi karena mendengarkan suatu berita, membaca sesuatu cerita dan sebagainya.
Dilihat dari cara orang berfantasi, fantasi dapat dibedakan atas fantasi yang mengabstraksi, yang mendeterminasi dan yang mengombinasi.
Fantasi yang mengabstraksi yaitu cara orang berfantasi dengan mengabstraksikan beberapa bagian, sehingga ada bagian-bagian yang dihilangkan. Misalnya anak yang belum pernah melihat gurun pasir, maka untuk menjelaskan dipakailah bayangan hasil persepsi yaitu lapangan. Bayangan lapangan ini dipakai secara loncatan untuk menjelaskan gururn pasir tersebut. Dalam anak berfantasi gurun pasir itu, banyak bagian-bagian lapangan yang diabstraksikan. Dalam berfantasi gurun pasir dibayangkan seperti lapangan, tetapi tanpa pohon-pohon disekitarnya, dan tanahnya pasir semua, bukan rumput.
Fantasi yang mendeterminasi yaitu cara orang berfantasi dengan mendeterminasi terlebih dahulu. Misalnya anak belum pernah melihat harimau. Yang telah mereka lihat kucing, maka kucing digunakan sebagai bahan untuk memberikan pengertian tentang harimau. Dalam berfantasi harimau, dalam bayangannya seperti kucing, tetapi bentuknya lebih besar.
Fantasi yang mengombinasi yaitu orang berfantasi dengan cara mengombinasikan pengertian-pengertian atau bayangan-bayangan yang ada pada individu bersangkutan. Misalnya berfantasi tentang ikan duyung, yaitu kepalanya kepala seorang wanita, tetapi badannya badan ikan. Jadi adanya kombinasi kepala manusia dengan badan ikan. Fantasi yang mengombinasi inilah yang banyak digunakan orang. Misalnya ingin membuat rumah dengan mengaombinasikan model Eropa dengan atap model Minangkabau.

D.    Perasaan
Yang dimaksud dengan perasaan adalah keadaan atau state individu sebagai akibat dari persepsi terhadap stimulus baik eksternal maupun internal. Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas baiknya disajikan contoh sebagai berikut:

”...... hening dan tenang malam itu, tak ada suara yang meretak sunyi. Tiba-tiba bergemalah nada-nada gamelan yang pertama, berat dan dalam memenuhi kesunyian. Penabuh gambang ringan lincah menarikan tangannya di atas gambang. Seakan-akan tidak dipegangnya pemalu kayu ringan lari melonjak-lonjak di atas deretan kayu gambang yang terbilah-bilah itu. Nada-nada tabuhan-tabuhan yang beragam-ragam jenisnya berpadu dengan harmonis, lembut dan murni laksana percikan air hujan di atas daun. Perlahan-lahan dengan lemah lunglai, penari itu merentangkan tangannya, seraya jarinya bergerak dengan cepatnya. Mulailah ia menari, tarian yang mempesonakan yang penuh berjiwa. Tubuhnya yang lampai diliuk-liukkan dengan eloknya, tapi geraknya penuh dengan kemegahan yang tak dapat dinyatakan dengan kata-kata.........”.

Dengan contoh tersebut di atas, keadaan tersebut dapat menimbulkan sesuatu keadaan dalam diri individu sebagai suatu akibat yang dialaminya atau yang dipersepsinya. Namun demikian bagaimana reaksi atau keadaan dari masing-masing individu terhadap keadaan tersebut tidak sama satu dengan yang lain. Karena itu dalam perasaan ada beberapa sifat tertentu yang ada padanya.


















BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
            Dalam fungsi jiwa ada bagian-bagian yang terkandung didalamnya, antara lain yaitu pengamatan, perhatian, fantasi, dan perasaan.
            Pengamatan adalah proses mengenal dunia luar dengan menggunakan macam-macam indera seperti indera penglihatan, pendengar, pembau, perasaan atau pengecapan, peraba.
            Perhatian adalah pemusatan atau konsentrasi dari seluruh aktivitas individu yang ditunjukkan pada suatu objek atau sekumpulan objek. Ditinjau dari segi timbulnya maka perhatian dapat dibedakan atas perhatian spontan dan perhatian tidak spontan.
            Fantasi adalah kemampuan jiwa untuk membentuk tanggapan-tanggapan baru. Fantasi sebagai kemampuan jiwa manusia dapat terjadi secara disadari dan secara tidak disadari. Fantasi merupakan aktivitas yang menciptakan tetapi sekalipun demikian searing dibedakan antara fantasi yang menciptakan dan fantasi tang dipimpin.
            Perasaan adalah keadaan atau state individu sebagai akibat dari persepsi terhadpa stimulus baik eksternal maupun internal.








urgensi informasi dalam organisasi

BAB I
PENDAHULUAN

Dalam kehidupan kita sehari-hari komunikasi merupakan suatu tindakan yang memungkinkan kita mampu menerima dan memberikan informasi atau pesan sesuai dengan apa yang kita butuhkan. Secara teoritis, kita mengenal berbagai tindakan komunikasi berdasarkan pada konteks di mana komunikasi tersebut dilakukan, yaitu konteks komunikasi antarpribadi, komunikasi kelompok, komunikais organisasi dan komunikasi massa.
Komunikasi sangat penting dan layak untuk dipelajari, karena sekarang ini banyak orang yang tertarik dan memberi perhatian kepadanya guna mengetahui prinsip dan keahlian komunikasi yang dapat dimanfaatkan untuk mewujudkan tujuan organisasi, baik organisasi komersial seperti lembaga rumah sakit maupun instuisi pendidikan.
Di dalam unsur-unsur komunikasi tentu terdapat unsur utama komunikasi, yang salah satunya adalah pesan atau informasi. Jika di dalam suatu organisasi mendapatkan suatu pesan komunikasi, akan selalu ada penyebaran dalam organisasi tersebut. Karena di dalam komukasi pesan haruslah sampai pada komunikan.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Urgensi Informasi dalam Organisasi
Di dalam suatu organisasi, hubungan antara atasan dan bawahan diharapkan yang terjadi adalah komunikasi yang harmonis. Jika di dalam suatu organisasi terjadi ketidakharmonisan komunikasi antara atasan ataupun bawahan akan menimbulkan kesalahpahaman komunikasi dan hubungan yang tidak kondusif. Sedangkan komunikasi yang baik dan lancar akan menciptakan kualitas kerja yang bagus. Oleh karena itu komunikasi dalam organisasi merupakan suatu hal yang sangat penting.
Pesan dalam jaringan komunikasi biasanya mengalir dari atas ke bawah atau dari bawah ke atas atau pun dari tingkat yang sama. Ada tiga bentuk utama dari arus pesan dalam jaringan komunikasi yang mengikuti garis komunikasi seperti yang digambarkan dalam struktur organisasi, yaitu[1]:
1.      Downward communication (komunikasi kepada bawahan)
2.      Upward communication (komunikasi kepada atasan)
3.      Horizontal commnication (komunikasi horizontal)
Komunikasi organisasi berbeda dengan apa yang dilakukan orang selama ini dalam berkomunikasi. Komunikasi organisasi adalah suatu disiplin studi yang dapat mengambil sejumlah arah yang sah dan bermanfaat.[2]

B.     Fungsi Komunikasi Dalam Organisasi
Dalam organisasi baik yang berinterkasi komersial maupun sosial, tindak komunikasi dalam organisasi atau lembaga tersebut melibatkan empat fungsi yaitu[3]:


Fungsi Informatif
Organisasi dapat dipandang sebagai suatu sistem pemrosesan informasi. Maksudnya, seluruh anggota dalam organisasi berharap dapat memperoleh informasi yang lebih banyak, lebih baik dan tepat waktu.
Informasi yang didapat memungkinkan setiap anggota organisasi dapat melaksanakan pekerjaannya secara lebih pasti. Informasi pada dasarnya dibutuhkan oleh semua orang yang mempunyai perbedaan kedudukan dalam suatu organisasi. Orang-orang dalam tataran manajement membutuhkan informasi untuk membuat suatu kebijakan organisasi ataupun guna mengatasi konflik yang terjadi dalam organisasi. Sedangkan karyawan atau bawahan membutuhkan informasi untuk melaksanakan pekerjaan, di samping itu juga informasi tentang jaminan kemanan, jaminan sosial dan kesehatan, ijin cuti dan sebagainya.

Fungsi regulatif
Fungsi regulatif ini berkaitan dengan peraturan-peraturan yang berlaku dalam suatu organisasi. Pada semua lembaga ataupun organisasi, ada dua hal yang berpengaruh terhadap fungsi regulatif ini. Pertama, atasan atau orang-orang yang yang berada dalam tataran menejemen yaitu mereka yang memiliki kewenangan untuk mengendalikan semua informasi yang disampaikan. Di samping itu mereka juga mempunyai kewenangan untuk memberi instruksi atau perintah, sehingga dalam struktur organisasi kemungkinan mereka ditempatkan dalam lapisan atas supaya perintah-perintahnya dilaksanakan sebagai mana mestinya.
Kedua, berkaitan dengan pesan. Pesan-pesan regulatif pada dasarnya berorientasi pada kerja. Artinya, bawahan membutuhkan kepastian peraturan-peraturan tentang pekerjaan yang boleh atau tidak boleh untuk dilaksanakan.

Fungsi persuasif
Dalam mengatur suatu organisasi, kekuasaan dan kewenangan tidak akan selalu membawa hasil sesuai dengan yang diharapkan. Adanya kenyataan ini, maka banyak pimpinan yang lebih suka untuk mempersuasi bawahannya daripada memberi perintah. Sebab pekerjaan yang dilakukan secara sukarela oleh karyawan akan menghasilkan kepedulian yang lebih besar dibandingkan jika pemimpin sering memperlihatkan kekuasaan dan kewenangannya.

Fungsi integratif
Setiap organisasi berusaha untuk menyediakan saluran yang memungkinkan karyawan dapat melaksanakan tugas dan pekerjaan dengan baik. Ada dua saluran komunikasi yang dapat mewujudkan hal tersebut, yaitu saluran komunikasi formal seperti penerbitan khusus dalam organisasi tersebut dan laporan kemajuan organisasi, juga saluran komunikasi informal seperti perbincangan anatarpribadi selama masa istirahat kerja, pertandingan olah raga ataupun kegiatan darma wisata. Pelaksanaan aktifitas ini akan menumbuhkan keinginan untuk berpartisipasi yang lebih besar dalam diri karyawan terhadap organisasi.

C.    Penyebaran Komunikasi
Organisasi adalah komposisi sejumlah orang-orang yang menduduki posisi atau peranan tertentu. Di antara orang-orang ini saling terjadi pertukaran pesan. Pertukaran itu melalui jalan tertentu yang dinamakan jaringan komunikasi atau penyebaran komunikasi. Suatu jaringan komunikasi berbeda dalam besar dan strukturnya misalnya mungkin hanya dua orang, tiga atau lebih dan mungkin juga di antara keseluruhan orang dalam organisasi. Bentuk struktur dalam jaringan itu pun juga akan berbeda-beda.
Peranan individu dalam sistem komunikasi ditentukan oleh hubungan struktur antara satu individu dengan individu lainnya dalam organisasi. Hubungan ini ditentukan oleh pola hubungan interkasi individu dengan arus informasi dalam jaringan komunikasi. Untuk mengetahui jaringan komunikasi serta peranannya dapat digunakan analisis jaringan. Dari hasil analisis jaringan ini dapat diketahui bentuk hubungan atau koneksi orang-orang dalam organisasi serta kelompok tertentu, keterbukaan satu kelompok dengan kelompok lainnya dan orang-orang yang memegang peranan utama dalam suatu organisasi. Ada enam peranan jaringan komunikasi yaitu:[4]
1.      Opinion leader
Adalah pimpinan informal dalam organisasi. Mereka ini tidaklah selalu orang-orang yang mempunyai otoritas formal dalam organisasi tetapi membimbing tingkah laku anggota organisasi dan mempengaruhi keputusan mereka.
2.      Gate keepers
Adalah individu yang mengontrol arus informasi di antara anggota informasi. Mereka berada di tengah suatu jaringan dan menyampaikan pesan dari dari satu orang kepada orang lain atau tidak memberikan informasi. Dia dapat menolong anggota penting dari anggota penting seperti pimpinannya, menghindarkan infromasi yang terlampau banyak dengan jalan hanya memberikan informasi yang penting-penting saja terhadap mereka. Dalam hal ini gate keepers mempunyai kekuasaan dalam memutuskan apakah suatu informasi penting atau tidak. Jika gate keepers memutuskan bahwa informasi tertentu tidak penting, kemudian seseorang harus mendapatkan informasi tersebut, maka mungkin informasi tersebut tidak diberikan. Nyatalah bahwa peranan gate keepers ini sangat penting dalam jaringan komunikasi.
3.      Cosmopolites
Adalah individu yang menghubungkan organisasi dengan lingkungannya. Mereka ini mengumpulkan informasi dari sumber-sumber yang ada dalam lingkungan dan memberikan informasi mengenai organisasi kepada orang-orang tertentu pada lingkungannya.
4.      Bridge
Adalah anggota kelompok dalam suatu organisasi yang menghubungkan kelompok itu dengan anggota kelompok lainnya. Individu ini membantu saling memberi informasi di antara kelompok-kelompok dan mengkoordinasi kelompok.
5.      Liaison
Adalah sama peranannya dengan bridge tetapi individu itu sendiri bukanlah anggota dari satu kelompok tetapi dia merupakan penghubung di antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Individu ini juga membantu dalam membagi informasi yang relevan di antara kelompok-kelompok dalam organisasi.
6.      Isolate
Adalah anggota organisasi yang mempunyai kontak minimal dengan orang lain dalam organisasi. Orang-orang ini menyembunyikan diri dalam organisasi atau diasingkan oleh teman-temannya.

D.    Komunikasi Efektif dalam Organisasi
Faktor komunikasi sangat besar perannya dalam menciptakan iklim organisasi yang menguntungkan bagi pimpinan maupun bawahan. Untuk mencapai sasaran komunikasi yang efektif, maka diperlukan persyaratan dasar yang harus diperhatikan oleh setiap pimpinan adalah:
1.      Tersedianya umpan balik dan proses mendengarkan yang efektif
2.      Kesungguhan hati
3.      Memahami kebutuhan staf atau bawahan sebagai manusia
4.      Pemilihan waktu yang tepat
5.      Pemilihan saluran dan media komunikasi yang tepat


BAB III
PENUTUP

Dari keterangan di atas, dapat kita simpulkan bahwa urgensi informasi dalam organisasi sangat penting karena merupakan salah satu unsur penting dari komunikasi. Jika  suatu organisasi tidak melakukan proses komunikasi yang tentunya tidak ada informasi yang diterima, maka tidak akan tercapai apa yang menjadi tujuan dan harapan organisasi tersebut.
Tentang penyebarannya dalam organisasi juga sangat penting, walaupun yang menerima informasi tersebut tidak semua anggota organisasi. Jika di dalam suatu organisasi, di antara anggota-anggotanya melakukan komunikasi dengan baik dan melakukan tugas-tugasnya dengan baik pula, maka akan segera tercapai apa yang menjadi tujuan organisasi tersebut, meskipun akan selalu ada halangan yang terjadi.


DAFTAR PUSTAKA

Fajar, Marhaeni. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2009.
Goldhaber, Geral M. Organizational Communication. Lowa Wm. Brown Publisher. 1986.
Katz, Daniel., dan Kahn, Robert L. The Social Psycology of Organization. New York: John Willey & Sons. 1978.
Muhammad, Arni. Komunikasi Organisasi. Jakarta: Bumi Aksara. 2002.
Wayne Pace, R. Komunikasi Organisasi. Bandung:


URGENSI INFORMASI DAN
PENYEBARANNYA DALAM ORGANISASI


MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Komunikasi Organisasi





Oleh:
Niensi Hidayati          B36208002
Indana Zulfa              B06208025
Zulfatul Khoiroh       B06208018


Dosen:
Ali Nurdin, S.Ag., M.Si



PROGRAM STUDI ILMU KOM
­FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2009

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI......................................................................................................       i

BAB I       :  PENDAHULUAN........................................................................      1
BAB  II     :  PEMBAHASAN...........................................................................      2
A.    Urgensi Informasi dalam Organisasi........................................      2
B.     Fungsi Komunikasi Dalam Organisasi.....................................      2
C.     Penyebaran Komunikasi...........................................................      4
D.    Komunikasi Efektif dalam Organisasi.....................................      6
BAB  III    :  PENUTUP.....................................................................................      7

DAFTAR PUSTAKA

Text Box: i  


[1] Arni Muhammad, Komunikasi Organisasi. 2009. hal. 108
[2] R Wayne Pace dan Don Fanies. Komunikasi Organisasi hal. 24
[3] Marhaeni Fajar. Ilmu komunikasi Teori dan Praktek. hal. 125
[4] Arni Muhammad, Komunikasi Organisasi. 2009. hal. 102

makalah ilmu politik (pemilihan umum)

BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
Di kebanyakan negara demokrasi, pemilihan umum dianggap lambang sekaligus tolak ukur dari demokrasi itu. Hasil pemilihan umum yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, dianggap mencerminkan dengan agak akurat partisipasi serta aspirasi rakyat. Sekalipun demikian, didasari bahwa pemilihan umum tidak merupakan satu-satunya tolak ukur dan perlu dilengkapppi dengan pengukuran bebrapa kegiatan lain yang lebih bersifat berkesinambungan.
Untuk mengetahui pemilu yang terjadi di negara kita sendiri, yakni negara Indonesia, kami akan memberikan penjelasan sedikit tentang sejarah dan pelaksanaan pemilu di Indonesia. Mulai dari awal kemerdekaan hingga tahun 2009 ini.

  1. Rumusan Masalah
  1. Bagaimana sejarah pemilihan umum yang terjadi di Indonesia?
  2. Bagaimana pelaksanaan pemilihan umum dari awal kemerdekaan hingga saat ini di Indonesia?

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah Pemilu di Indonesia
Sejak kemerdekaan hingga tahun 2009 bangsa Indonesia telah menyelenggarakan sepuluh kali pemilihan umum, yaitu pemilihan umum tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004 dan 2009. Dari pengalaman sebanyak itu, pemilihan umum 1955 dan 2004 mempunyai kekhususan atau keistimewaan dibanding dengan yang lain.
Semua pemilihan umum tersebut tidak diselenggarakan dalam situasi yang vacuum, melainkan berlangsung di dalam lingkungan yang turut menentukan hasil pemilihan umum itu sendiri. Dari pemilihan umum-pemilihan umum tersebut juga dapat diketahui adanya upaya untuk mencari sistem pemilihan umum yang cocok untuk Indonesia.
Pada pemilu 2004, penyelenggara pemilu di Indonesia, dari pusat sampai Tempat Pemungutan Suara (TPS), tidak lagi diselenggarakan oleh Panitian Pemilihan Indonesia (PPI) seperti pada pemilu 1955 dan Lembaga Pemilihan Umum (LPU) seperti pada pemilu-pemilu pada masa orde baru, melainkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ada perbedaan yang sangat mencolok antara kedua model penyelenggara pemilu tersebut, khususnya antara LPU dan KPU, yakni yang pertama LPU sangat didominasi oleh pemerintah, sementara KPU, kecuali KPU pada pemilu 1999, sangat didomonasi oleh para tokoh non-partisan atau independen dari kalangan kampus. Dan KPU pada pemili 1999 didomonasi oleh kombinais antara kalangan partai politik dan pemerintah.

B.     Pelaksanaan Pemilu di Indonesia
a.       Pemilu 1955
Undang-Undang pemilu yang pertama kali dibuat di Indonesia pascamerdeka, yakni UU No. 7 tahun 1953[1] tentang pemilihan umum. Tujuan pemilu yang diselengagrakan pada tahun 1955, sebagaimana tercantum dalam perundang-undangannya, adalah; 1) menjelmakan kemauan/keinginan rakyat yang akan menjadi dasar kekuasaan penguasa; dan 2) membentuk konstituante yang akan menetapkan suatu UUD RI.
Adapun pelaksanaan pemilu dilakukan melalui dua tahap, yakni bulan  September 1955 untuk memilih anggota DPR; dan bulan Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota konstituante.[2]
Pemilu pertama yang dilaksanakan secara serentak di seluruh tanah air (kecuali Irian Barat) berjalan dengan sangat khidmat dan masih dalam suasana kemerdekaan. Pemilu pertama ini memperebutkan 257 kursi DPR. Pemilu diikuti oleh 15 daerah pemilihan.
Pemilu 1955 menjalankan sistem pemilihan secara langsung, yaitu seluruh warga negara Indonesia yang berumur 18 tahun atau sudah menikah mempunyai hak untuk memilih. Termasuk juga dalam ketentuan ini adalah angkatan perang/polisi tetap mempunyai hak yang sama untuk memilih. Bahkan, menariknya lagi bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1954,[3] dinyatakan bahwa bagi anggota angkatan perang/polisi yang sedang bertugas ketika pemungutan suara dapat dilakukan menyusul, selambat-lambatnya 15 hari setelah hari setelah pemungutan suara.

b.      Pemilu Orde Baru
Pada masa orde baru pemilu telah diselenggarakan sebanyak enam kali. Untuk pemilihan umum pertama sejak orde baru berdiri, atau pemilu kedua sejak Indonesia merdeka, yakni pemilu 1971 diikuti oleh 10 Organisasi Peserta Pemilu (OPP), yakni 9 partai politik dan satu Golongan Karya. Undang-Undang yang melandasi hukumnya adalah UU No. 15 tahun 1969 tentang Pemilihan Umum dan UU No. 16 tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.

1.      Pemilu 1971
Pasca 1971, penyelenggaraan pemilu yang periodik dan teratur mulai terlaksana. Pemilu ketiga diselenggarakan 6 tahun lebih setelah pemilu 1971, yakni tahun 1977. Setelah itu diselenggarakan sekali dalam 5 tahun. Sejak saat itulah pemilu teratur dilaksanakan. Satu hal yang nyata dalam pemili-pemilu sebelumnya adalah bahwa sejak pemilu 1977, pesertanya jauh lebih sedikit. Dua partai politik dan satu golongan karya. Ini terjadi setelah pemerintah bersama-sama dengan DPR berusaha menyederhanakan jumlah partai dengan membuat UU No. 3 tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar. Kedua partai tersebut adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan satu Golongan Karya (Golkar). Kedua partai tersebut merupakan penggabungan dari sembilan partai politik yang ikut dalam pemilu 1971. NU, PARMUSI, PSII, dan PERTI menggabungkan diri dalam PPP, dan selebihnya PNI, MURBA, PARKIDO, Partai Katolik, IPKI menggabungkan diri ke dalam PDI.[4]
Jadi, dalam 5 kali pemilu, yaitu pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, pesertanya hanya tiga. Hasilnya pun sama, Golkar selalu menjadi pemenang, sedangkan PPP dan PDI menjadi pelengkap atau sekedar ornamen. Golkar bahkan sudah menjadi pemenang sejak pemilu 1971. Keadaan ini secara langsung dan tidak langsuang membuat kesatuan eksekutif dan legislatif berada di bawah kontrol Golkar. Pendukung utama Golkar yaitu birokrasi sipil dan militer.

2.      Pemilu 1977
Pemilu 1977 diselenggarakan dengan berlandaskan pada UU No. 4 tahun 1975 tentang Pemilihan Umum pengganti UU No. 15 tahun 1969, dan UU No. 5 tahun 1975 pengganti UU No. 16 tahun 1969 tentang Susunan dan Kdudukan MPR, DPR, dan DPRD[5].
Cara pembagian kursi masih dilakukan seperti dalam pemilu 1971, yakni mengikuti sistem proporsional di daerah pemilihan. Dari suara yang sah, Golkar meraih prosentasi 62,11 %. Namun, perolehan kursinya menurun menjadi 232 kursi atau kehilangan 4 kursi dibandingkan pemilu 1971.
Pada pemilu 1977, suara PPP naik di berbagai daerah, bahkan di DKI Jakarta dan DI Aceh, PPP mengalahkan Golkar. Secara nasional, PPP berhasil meraih 99 kursi atau naik 2,17 %, atau bertambah 5 kursi dibanding dengan gabungan kursi 4 partai Islam dalam pemilu 1971. Kenaikan suara PPP terjadi di basis-basis Masyumi. Hal ini seiring dengan tampilnya tokoh utama Masyumi yang mendukung PPP. Akan tetapi, kenaikan suara PPP di basis-basis Masyumi diikuti pula oleh penurunan suara dan kursi di basis-basis NU, sehingga kenaikan suara secara nasional tidak begitu besar.

3.      Pemilu 1982
Dengan UU No. 2 tahun 1980 pengganti UU No. 4 tahun 1975 tentang Pemilihan Umum, Indonesia kembali menyelenggarakan Pemilihan Umumnya yang keempat pada tanggal 4 Mei 1982. pada pemilu ini perolehan suara dan kursi golkar secara nasional meningkat, tetapi gagal merebut kemenangan di Aceh. Hanya DKI Jakarta dan Kalimantan Selatan yang berhasil diambil golkar dari PPP. Secara nasional, golkar berhasil merebut tambahan 10 kursi dan itu berarti PPP dan PDI kehilangan masing-masing 5 kursi.
Adapun cara pembagian kursi pada pemilu ini tetap mengacu pada ketentuan pemilu 1971.

4.      Pemilu 1987
Dengan UU No. 1 tahun 1985 pengganti UU No. 2 tahun 1980, Indonesia menyelenggarakan Pemilihan Umum yang kelima pada 1987. Pemungutan suara pemilu 1987 secara serentak dilaksanakan pada tanggal 23 April 1987. suara yang sah mencapai 91,32 %. Cara pembagian kursi juga tidak berubah, yaitu tetap mengacu pada pemilu sebelumnya.
Pemilu kali ini menunjukkan kemerosotan terbesar PPP, yakni hilangnya 33 kursi dibandingkan pemilu 1982, sehingga hanya mendapat 61 kursi. Penyebabnya antara lain karena PPP tidak boleh lagi memakai asas Islam dan mengubah lambangnya, Ka’bah menjadi Bintang, serta terjadinya penggembosan oleh tokoh-tokoh unsur NU, terutama Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Sementara itu golkar memperoleh tambahan kursi 53 kursi sehingga menjadi 299 kursi. PDI, yang pada tahun 1986 dapat dikatakan mulai dekat dengan kekuasaan, sebagaimana diindikasikan dengan pembentukan DPP PDI hasil kongres 1986 oleh Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam, berhasil menambah perolehan kursi secara signifikan dari 30 kursi pada pemilu 1982 menjadi 40 kursi pada pemilu 1987.

5.      Pemilu 1992
Mengingat UU No. 1 tahun 1985 ini dianggap masih sesuai dengan perkembangan politik orde baru, tahun 1992 diselenggarakan pemilu yang keenam di Indonesia berdasarkan payung hukum yang sama dengan payung hukum sebelumnya. Pemungutan suaranya diselenggarakan secara serentak pada tanggal 9 Juni 1992.
Cara pembagian kursi untuk pemilu 1992 juga masih sama dengan pemilu sebelumnya.
Hasil pemilu ini dapat dikatakan agak mengagetkan banyak orang. Sebab, perolehan suara golkar kali ini merosot dibandingkan pemilu 1987. Jika pada pemilu 1987, perolehan suara golkar mencapai 73,16 %, pada pemilu 1992 ini turun menjadi 68,10 %. Oenurunan yang tampak nyata dapat dilihat pada perolehan kursi, yakni menurun dari 299 kursi menjadi 282, atau kehilangan 17 kursi dibandingkan dengan pemilu sebelumnya.
PPP juga mengalami hal yang sama, meskipun masih bisa menaikkan 1 kursi dari 61 pada pemilu 1987 menjadi 62 kursi pada pemilu 1992 ini. Di luar Jawa, suara dan kursi partai berlambang Ka’bah itu merosot. Pada pemilu 1992, partai ini kehilangan banyak kursi di luar Jawa meskipun ada penambahan kursi dari Jawa Timur dan Jawa Tengah. Malah partai iti tidak memiliki wakil sama sekali di 9 provinsi, termasuk 3 provinsi di Sumatra. PPP memang berhasil menaikkan perolehan 7 kursi di Jawa, tetapi karena kehilangan 6 kursi di Sumatra, partai itu hanya menaikkan 1 kursi secara nasional.
Yang berhasil menaikkan perolehan suara di berbagai daerah adalah PDI. Pada pemilu 1992 ini PDI berhasil meningkatkan perolehan 16 kursi diobandingkan pemilu 1987, sehingga menjadi 56 kursi. Ini artinya, dalam dua pemilu, yaitu 1987 dan 1992, PDI berhasil menambah kursinya di DPR RI.

6.      Pemilu 1997
Dengan payung hukum (undang-undang pemilu) yang sama dengan pemilu sebelumnya, Indonesia kembali menyelenggarakan pemilu ketujuh, yakni tahun 1997. pemungutan suaranya dilaksanakan pada tanggal 29 Mei 1997. sampai pemilu 1997, cara pembagian kursi yang digunakan masih menggunakan cara yang sama dengan pemilu sebelumnya.
Hasilnya menunjukkan bahwa setelah pada pemilu 1992 mengalami kemerosotan, kali ini golkar kembali merebut suara pendukungnya. Perolehan suaranya mencapai 74,51 %, atau naik 6,41 %. Sedangkan perolehan kursinya meningkat menjadi 325 kursi, atau bertambah 43 kursi dari hasil pemilu sebelumnya.
PPP juga menikamati hal yang sama, yaitu meningkat 5,43 %. Begitu pula, untuk perolehan kursi. Pada pemilu 1997, PPP meraih 89 kursi atau meningkat 27 kursi dibandingkan dengan pemilu 1992. Dukungan terhadap partai itu di Jawa sangat besar.
Adapun PDI, yang mengalami konflik internal dan menjadi pecah antara PDI Soerjadi dan PDI Megawati Soekarnoputri setahun menjelang pemilu, perolehan suaranya merosot 11,84 % dan hanya mendapat 11 kursi, yang berarti kehilangan 45 kursi di DPR dibandingkan pemilu 1992.
Pemilu kali ini banyak diwarnai berbagai protes. Protes terhadap kecurangan yang terjadi di banyak daerah. Bahkan, di Kabupaten Sampang, Madura, puluhan kotak suara dibakar massa karena kecurangan perhitungan suara dianggap keterlaluan. Ketika di beberapa tempat di daerah itu pemilu diulang pun, pemilih, khususnya pendukung PPP, tidak mengambil bagian.
Secara keseluruhan, berdasarkan penjabaran di atas, tampak bahwa pemenang dari setiap penyelenggaraan pemilu pada masa orde baru adalah golkar. Ini bisa dimengerti, karena golkar pada masa saat itu, bersama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan Birokrat, adalah mesin utama bagi pemeliharaan sekaligus penguatan pemerintahan rezim orde baru, di bawah kendali Soeharto. Kendaraan politik orde baru ini populer dikenal sebagai jalur ABG (ABRI, Birokrasi, dan golkar).

c.       Pemilu Era Reformasi
Pasca jatuhnya Soeharto, 21 Mei 1998, rakyat Indonesia telah menyelenggarakan dua kali pemilu sampai pemilu 2004. Dan yang terakhir adalah pemilu 2009, yang merupakan pemilu kesepuluh.
1.      Pemilu 1999
Seperti halnya pemilu-pemilu sebelumnya, pemilu 1999 ditujukan untuk memilih anggota DPR dan DPRD. Pemungutan suaranya dilaksanakan pada tanggal 7 Juni 1999. Pemilu ini diikuti oleh 48 partai dengan berlandaskan pada UU No. 2 tahun 1999 tentang Partai Politik dan UU No. 3 tahun 1999 tentang Pemilihan Umum. Pemilu 1999 ini disebut oleh berbagai kalangan sebagai pemilu paling demokratis setelah pemilu 1955. mengapa demikian? Karena pemilu 1999 diikuti oleh banyak partai, setelah sebelumnya dari satu pemilu ke pemilu berikutnya hanya terbatas pada 3 Organisasi Peserta Pemilu, seperti yang telah dijelaskan di atas.
Cara pembagian kursi pada pemilu kali ini tetap memakai sistem proporsional dengan mengikuti Varian Roget. Dalam sistem ini, sebuah partai memperoleh kursi seimbang dengan suara yang diperolehnya di daerah pemilihan. Akan tetapi, cara penetapan calon terpilih berbeda dengan pemilu sebelumnya, yakni dengan menentukan ranking perolehan suara satu partai di daerah pemilihan. Apabila sejak pemilu 1977, calon nomor urut pertama dalam daftar calon partai otomatis terpilih apabila partai tersebut mendapatkan kursi, kini calon terpilih ditetapkan berdasarkan suara terbesar atau terbanyak dari daerah seseorang dicalonkan.
Dengan demikian, seorang calon, misalnya si X, meskipun berada berada di urutan paling bawah dari daftar calon, kalau dari daerahnya partai yang mewakilinya mendapatkan suara terbesar, maka dialah yang terpilih. Untuk cara penetapan calon terpilih berdasarkan perolehan suara di Daerah Tingkat II ini sama dengan cara yang dipergunakan pada pemilu 1971.
Meskipun masa persiapannya tergolong singkat, pelaksanaan pemungutan suara pada pemilu 1999 ini bisa dilakukan sesuai jadwal. Tidak seperti yang diprediksikan dan dikhawatirkan banyak pihak sebelumnya, ternyata pemilu 1999 bisa terlaksana dengan damai, tanpa ada kekacauan yang berarti. Hanya di beberapa Daerah Tingkat II di Sumatra Utara yang pelaksanaan pemungutan suaranya terpaksa diundur satu pekan. Itu pun karena adanya keterlambatan atas datangnya perlengkapan pemungutan suara.

2.      Pemilu 2004
Pemilu ini berbeda dengan pemilu sebelumnya, termasuk pemilu 1999. Hal itu dikarenakan selain demokratis dan bertujuan memilih anggota DPR dan DPRD, pemilu 2004 juga memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung (sebelumnya Presiden dan Wakil Presiden dipilih oelh MPR). Selain itu, pada pemilu ini, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tidak dilakukan secara terpisah (seperti pemilu 1999). Pada pemilu ini, yang dipilih adalah pasangan calon  Presiden dan Wakil Presiden, bukan secara terpisah.
Pemilu 2004 ini dibagi menjadi maksimal tiga tahap (minimal dua tahap):[6]
(a)    Tahap pertama (Pemilu Legislatif) adalah pemilu untuk memilih partai politik (untuk persyaratan pemilu Presiden) dan anggotanya untuk dicalonkan menjadi anggota DPR, DPRD, dan DPD. Tahap pertama ini dilaksanakan pada tanggal 5 April 2004.
(b)   Tahap kedua (Pemilu Presiden putaran pertama) adalah untuk memilih pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden secara langsung. Tahap kedua ini dilaksanakan pada tanggal 5 Juli 2004.
(c)    Tahap ketiga (Pemilu Presiden putaran kedua)adalah babak terakhir yang dilaksanakan hanya apabila tahap kedua, belum ada pasangan calon yang mendapatkan suara lebih dari 50%[7]. Tahap ketiga ini dilaksanakan pada tanggal 20 September 2004.

3.      Pemilu 2009
Pemilu kali ini tidak berbeda dengan pemilu 2004 yang memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung dan tidak terpisah.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dalam pemilu-pemilu yang terjadi di Indonesia tidak selamanya selalu sama, sejak pemilu pertama dilaksanakan, yaitu pada tahun 1955 hingga saat ini, banyak perubahan-perubahan yang terjadi. Mulai dari perubahan landasan pada tiap pelaksanaan pemilu sampai pada jumlah partai politik yang mengikuti pemilu tersebut, yang telah dipaparkan di atas.


DAFTAR PUSTAKA
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik (edisi revisi). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Gatara, Sahid. 2008. Ilmu Politik (Memahami dan Menerapkan). Bandung: Pustaka Setia.
Syafii, Inu Kencana. 1997. Ilmu Politik. Jakarta: PT. Rineka Cipta.



[1] Sahid Gatara, Ilmu Politik: Memahami dan Menerapkan. Hal. 221
[2] Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (edisi revisi). Hal. 473
[3] Sahid Gatara, Ilmu Politik: Memahami dan Menerapkan. Hal. 222
[4] Sahid Gatara, Ilmu Politik: Memahami dan Menerapkan. Hal. 225
[5] Sahid Gatara, Ilmu Politik: Memahami dan Menerapkan. Hal. 225
[6] Sahid Gatara, Ilmu Politik: Memahami dan Menerapkan. Hal. 234
[7] bila keadaannya demikian, dua pasangan calon yang mendapatkan suara terbanyak akan diikutsertakan pada pemilu Presiden putaran kedua. Akan tetapi, bila ada pemilu Presiden putaran pertama sudah ada pasangan calon yang mendapatkan suara lebih dari 50%, pasangan calon tersebut akan langsung diangkat menjadi Presiden dan Wakil Presiden