Senin, 09 Mei 2011

ikhlas


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Ikhlas adalah perbuatan baik yang, jika dilihat dari sekilas, seakan- akan mudah dilakukan. Akan tetapi, saat kita diharuskan untuk mengikhlaskan sesuatu untuk diberikan kepada orang lain misalnya, dan apalagi barang tersebut adalah termasuk barang kesayangan kita, akan terasa sangat berat untuk memberikannya kepada orang lain. Hal ini membuktikan bahwa untuk berbuat ikhlas adalah perbuatan yang sangat membutuhkan kelapangan hati yang super lapang. Oleh karena itu, dengan adanya makalah ini semoga dapat membantu kita semua untuk lebih bisa berbuat ikhlas dan benar- benar bisa mendalami apa yang disebut dengan ikhlas itu sendiri.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari ikhlas?
2.      Bagaimana cara agar kita berbuat ikhlas dengan benar- benar ikhlas?
3.      Bagaimana hukum ikhlas yang disertai dengan riya’?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Ikhlas
Ikhlas adalah perbuatan mengalah dan tawakal kepada Allah SWT. Mengalah disini bukan berarti dalam hal kebaikan melainkan lebih kepada arti pengorbanan. Berkorban demi orang lain yang membutuhkan, misalnya, seseorang akan memberikan makanannya apabila ada orang lain yang lebih membutuhkan untuk memakannya. Dalam hadits qudsi dikemukakan sebagai berikut:
يُؤْتَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصُحُفٍ مُخَتَّمَةٍ فَتُنْصَبُ بَيْنَ يَدَيِ اللهِ تَعَالَى فَيَقُوْلُ الله: اَلْقُوَا هَذِهِ فَتَقُوْلُ الْمَلاَئِكَةُ: وَعِزَّتِكَ ماَرَأَيْناَ اِلاَّ خَيْراً فَيَقُوْلُ اللهُ: إِنَّ هَذاَ كَانَ لِغَيْرِ وَجْهِى وَاِنِّى لاَ اَقْبَلُ اِلاَّ مَاابْتُغِىَ بِهِ وَجْهِى (رواه البزار والطبرانى باسناديهه روى احدهما روة الصحيح)
Kelak pada hari kiamat akan didatangkan beberapa buku yang telah disegel[1] lalu dihadapkan kepada Allah SWT. (pada waktu itu) Allah berfirman:”Buanglah ini semuanya”. Malaikat berkata:”Demi kekuasaan Engkau, kami tidak melihat di dalamnya melainkan yang baik- baik saja”. Selanjutnya Allah berfirman:”Sesungguhnya isinya ini dilakukan bukan karena-Ku, dan Aku sesungguhnya tidak akan menerima kecuali apa- apa yang dilaksanakan karena mencari keridlaan-Ku”. ( HQR Bazzar dan Thabrani, dengan dua sanad, atau diantara para rawinya termasuk perawi Al- Jamius Shahih)[2]

Dalam hadits di atas dapat diketahui bahwa buku catatan yang dibawa oleh malaikat, dan sudah diperkirakan akan baik, ternyata setelah diletakkan di hadapan Allah SWT, isinya ditolak lantaran seseorang tadi mengerjakannya bukan karena Allah SWT.
Para malaikat membuat catatan sebagaimana adanya, sesuai dengan tingkat pengetahuannya, namun Allah memberitahukan kepada para malaikat hakikat buku tersebut, bahwa amal yang dilakukan oleh yang bersangkutan, lahirnya baik dan bagus, tetapi pada hakikatnya tidak baik. Amal tersebut menurut penilaian Allah SWT dilakukan bukan karena Allah yang sebenar- benarnya. Allah Maha Mangetahui apa- apa yang tersirat dibalik amal perbuatan yang dilakukan oleh seseorang. Allah SWT mengetahui bahwa seseorang yang bersangkutan melakukan perbuatan baik bukan karena Allah tetapi karena riya’. Seorang tadi ingin disanjung dan dipuji. Dia ingin semua orang menilai kalau dirinya adalah orang yang baik dan taat beribadah. Allah tidak akan menerima amal perbuatan yang dilakukan bukan karena Allah, tidak menerima segala sesuatu yang dilaksanakan dengan tidak ikhlas karena-Nya.
Berkenaan dengan hadits qudsi di atas terdapat beberapa ayat yang berhubungan dengan perbuatan ikhlas:
قُلِ اللَّهَ أَعْبُدُ مُخْلِصًا لَهُ دِينِي (١٤)
Katakanlah wahai Muhammad! Hanya kepada Allah sajalah aku beribadah dengan tulus dan ikhlas”. (QS. Az- Zumar:14).
إِلاَّ الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَاعْتَصَمُوا بِاللَّهِ وَأَخْلَصُوا دِينَهُمْ لِلَّهِ فَأُولَئِكَ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ وَسَوْفَ يُؤْتِ اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ (١٤٦)
Kecuali mereka yang taubat dan berlaku baik dan berpegang teguh pada Agama Allah, dan melaksanakan Agama mereka dengan ikhlas karena Allah. Mereka itulah bersama-sama kaum Mu’minin”. (QS. An- Nisa’:146).
وَأَقِيمُوا وُجُوهَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَادْعُوهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ (٢٩)
Dan luruskanlah muka kalian (menghadap Allah) di setiap shalat (pusatkanlah hati dan fikiran kalian dengan tulus ikhlas kepada Allah) dan berdoalah dengan tulus ikhlas, melaksanakan Agama karena Allah”. (QS. Al- a’raf:29).
Dalam hadits qudsi yang lain Nabi Muhammad SAW pernah menyebutkan sebagai berikut:
يَقُوْلُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ : مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ بِهِ غَيْرِى فَهُوَ لَهُ كُلُّهُ وَأَنَا مِنْهُ بَرِىءٌ وَأَنَا أَغْنَى اْلأَغْنِيَاءِ عَنِ الشِّرْكِ.
“Allah SWT berfirman: Barangsiapa yang beramal untuk-Ku tetapi dalam amalnya menyekutukan Aku dengan selain-Ku, maka amal itu adalah untuk dirinya seluruhnya (menjadi tanggung jawabnya sendiri). Aku berlepas diri dari padanya, dan Aku yang paling tidak memerlukan persekutuan”.
Khalifah Umar bin Khattab ra. Berkata tentang ikhlas ini sebagai berikut:
أَفْضَلُ اْلأَعْمَالِ اَداَءُ مَا افْتَرَضَ اللهُ تَعَالَى وَالْوَرَعُ عَمَّا حَرَّمَ اللهُ تَعَالَى وَصِدْقُ النِّيَّةِ فِيْمَا عِنْدَ اللهِ تَعاَلَى
“Amalan yang paling utama ialah menunaikan apa yan telah difardlukan Allah SWT dan melakukan wara’[3] dari apa- apa yang telah diharamkan Allah SWT serta meluruskan niat dalam beribadah kepada Allah SWT”.
Ketika Umar ibn Abdul Aziz dilantik menjadi khalifah pada tahun 99 Hijriyah, beberapa teman beliau antara lain Salim dan Abdullah, seorang tabi’i yang terkenal wara’ dan taqwanya, berkirim surat kepadanya untuk memperingatkannya:
“Ketahuilah bahwa bantuan Allah dan pertolongan Allah kepada hamba-Nya seimbang dengan niatnya, akan sempurna pula bantuan Allah kepadanya. Sebaliknya jika niatnya kurang sempurna, akan berkurang pula bantuan Allah sesuai dengan niatnya itu”.
Seorang tabi’i besar, salah satu seorang waliyullah yang terkenal bernama Fudlail bin ‘Iyadl, apabila membaca ayat 31 surat Muhammad[4], beliau menangis dan mengulang bacaan tersebut beberapa kali sambil berkata:”Sesungguhnya Engkau jika telah menguji kami, tentu akan membukakan rahasia- rahasia kami dan akan menyingkapkan tabir yang melindungi keaiban dan kecelaan kami”.

B.     Hukum Ikhlas yang Disertai Riya’
Mengenai hukum amal-perbuatan yang bercampur dengan riya’, Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali mengemukakan:
“Para ulama berselisih pendapat tentang hukum amalan yang tidak ikhlas karena Allah SWT, yang bercampur dengan riya’ atau karena hawa nafsu, apakah ada pahalanya, ataukah akan mendapat hukuman atau tidak mendapatkan apa- apa”.
Para ulama secara aklamasi menegaskan bahwa amalan yang dilakukan karena riya’ semata, akan mendapatkan hukuman. Apalagi riya’ merupakan penyebab kemurkaan dan siksaan.
Adapun amal yang dilakukan dengan ikhlas karena Allah SWT semata akan menjadi penyebab untuk mendapat pahala.
Lahiriyah hadits-hadits menunjukkan bahwa amalan yang bercampur dengan riya’ tidak ada pahalanya. Akan tetapi dari beberapa hadits dapat disimpulkan bahwa amalan seperti itu diukur menurut kadar kekuatan pendorongnya (Allah Maha Mengetahui akan hal ini):
1.      Jika pendorong amalnya itu bersamaan dengan pendorong nafsunya sehingga keduanya sama kuat, maka keduanya harus digugurkan dan jadilah amalnya tidak berpahala dab juga tidak berdosa.
2.      Jika dorongan riya’ lebih kuat dan menang, jadilah amalannya tidak bermanfaat, tetapi akan memberi madlarat dan siksaan. Siksaan dalam kondisi seperti ini lebih ringan dari siksaan amalan yang semata- mata riya’.
3.      Jika niat bertaqarrub[5] lebih berat atau lebih condong dibandingkan dengan dorongan- dorongan lain, maka ia akan mendapat pahala sekedar kelebihan kekuatan dorongan keikhlasan tadi.
Sehubungan dengan ini Allah berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ وَإِنْ تَكُ حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا وَيُؤْتِ مِنْ لَدُنْهُ أَجْرًا عَظِيمًا (٤٠)
Barangsiapa yang beramal kebajikan sebesar debu, pahala kebajikannya itulah yang akan dilihatnya. Dan barangsiapa yang bermala kejahatan sebesar debu, maka siksaan kejahatannya itulah yang akan dilihatnya kelak”. (QS. An- Nisa’:40).
Memperhatikan uraian di atas, tidaklah layak meniadakan sama sekali niat kebajikan dalam setiap amalan kita. Jika niat itu dapat mengalahkan riya’, maka tinggallah niat baiknya. Tetapi jika niat baik itu kalah oleh riya’, maka niat baiknya itu akan terhapus, dan sebagai imbalannya, akan menerima siksaan karena riya’nya itu[6].
Selanjutnya terdapat pula hadits qudsi menurut riwayat Daraquthni dari hadits Anas r.a. dengan isnad Hasan, bersabda Rasulullah SAW:
اِنَّ الْعَبْدَ لَيَعْمَلُ اَعْمَالاً حَسَنَةً فَتَصْعَدُ الْمَلاَئِكَةُ بِهَا فِى صُحُفٍ مُخَتَّمَةٍ فُتُلْقَى بَيْنَ يَدَيِ اللهِ تَعَالَى فَيَقُوْلُ : اَلْقُوَا هَذِهِ الصَّحِيْفَةَ فَاِنَّهُ لَمْ يُرِدْ بِهَا وَجْهِى ثُمَّ يُناَدِى الْمَلاَئِكَةَ: اُكْتُبُوْا لَهُ كَذاَ وَكَذاَ اُكْتُبُوْا لَهُ كَذَا وَكَذَا فَيَقُوْلُوْنَ: ياَ رَبَّناَ اِنَّهُ لَمْ يَعْمَلْ شَيْئاً مِنْ ذَلِكَ فَيَقُوْلُ اللهُ تَعاَلَى: اِنَّهُ نَوَاهُ (رواه الدارقطنى)
Apabila sseorang beramal beberapa amalan yang baik, para Malaikat naik membawanya dalam satu buku yang disegel. Buku itu diletakkan di hadapan Allah SWT. Allah berfirman:”Buanglah buku- buku ini, karena amalan- amalan ini dilakukan bukan karena Aku”. Kemudian Dia memanggil Malaikat:”Tulislah baginya begini dan begini. Tulislah baginya begini dan begini”. Malaikat menyahut:”Ya Rabbana! Seseungguhnya dia tidak pernah melakukan yang demikian itu”. Allah berfirman:”Itu adalah pahala terhadap amal yang pernah ia niatkan”.
Makin banyak kita mempelajari hadits- hadits tentang ikhlas, makin jelas peranannya dalam kehidupan kita.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa bersikap ikhlas adalah merupakan hal yang utama dalam menjalankan semua hal. Jika kita melakukan amal perbuatan tidak disertai dengan ikhlas, maka amal perbuatan yang kita kerjakan tidak akan mendapatkan apa- apa. Dan jika amal perbuatan telah ditutupi oleh riya’, maka kita akan mendapat balasan dari riya’ itu sendiri.
Marilah kita bersama- sama membuang sifat riya’ dan menambah keikhlasan kita. Dan marilah kita bersama memohon ke hadlirat Allah SWT agar memberikan kepada kita nikmat ikhlas pada setiap amalan kita, baik perkataan maupun perbuatan dan tindakan. Amin Yaa Rabbal Aalamiin.

DAFTAR PUSTAKA

Al-ghazali, Imam. Ihya Ulumuddin. Cairo: Masyrad Husaeni.
Usman, Ali. Hadits Qudsi. Bandung: cv. Diponegoro.1996.



[1] Buku amal pekerjaan harian menurut catatan Raqib dan ‘Atit
[2] KH. Ali Usman dahlan, Hadits Qudsi. Hlm.65
[3] menjaga diri
[4] Sesungguhnya kami akan menguji kalian sehingga Kami akan mengetahui siap diantara kalian yang benar- benar mujahid dan siapa diantara kalian yang sabar dan Kami akan menguji sepak terjang kalian.
[5] Mendekatkan diri kepada Allah.
[6] Imam al-ghazali, Ihya’ Ulumuddin, hlm. 372

Tidak ada komentar:

Posting Komentar