Selasa, 17 Mei 2011

makalah ilmu politik (pemilihan umum)

BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
Di kebanyakan negara demokrasi, pemilihan umum dianggap lambang sekaligus tolak ukur dari demokrasi itu. Hasil pemilihan umum yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, dianggap mencerminkan dengan agak akurat partisipasi serta aspirasi rakyat. Sekalipun demikian, didasari bahwa pemilihan umum tidak merupakan satu-satunya tolak ukur dan perlu dilengkapppi dengan pengukuran bebrapa kegiatan lain yang lebih bersifat berkesinambungan.
Untuk mengetahui pemilu yang terjadi di negara kita sendiri, yakni negara Indonesia, kami akan memberikan penjelasan sedikit tentang sejarah dan pelaksanaan pemilu di Indonesia. Mulai dari awal kemerdekaan hingga tahun 2009 ini.

  1. Rumusan Masalah
  1. Bagaimana sejarah pemilihan umum yang terjadi di Indonesia?
  2. Bagaimana pelaksanaan pemilihan umum dari awal kemerdekaan hingga saat ini di Indonesia?

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah Pemilu di Indonesia
Sejak kemerdekaan hingga tahun 2009 bangsa Indonesia telah menyelenggarakan sepuluh kali pemilihan umum, yaitu pemilihan umum tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004 dan 2009. Dari pengalaman sebanyak itu, pemilihan umum 1955 dan 2004 mempunyai kekhususan atau keistimewaan dibanding dengan yang lain.
Semua pemilihan umum tersebut tidak diselenggarakan dalam situasi yang vacuum, melainkan berlangsung di dalam lingkungan yang turut menentukan hasil pemilihan umum itu sendiri. Dari pemilihan umum-pemilihan umum tersebut juga dapat diketahui adanya upaya untuk mencari sistem pemilihan umum yang cocok untuk Indonesia.
Pada pemilu 2004, penyelenggara pemilu di Indonesia, dari pusat sampai Tempat Pemungutan Suara (TPS), tidak lagi diselenggarakan oleh Panitian Pemilihan Indonesia (PPI) seperti pada pemilu 1955 dan Lembaga Pemilihan Umum (LPU) seperti pada pemilu-pemilu pada masa orde baru, melainkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ada perbedaan yang sangat mencolok antara kedua model penyelenggara pemilu tersebut, khususnya antara LPU dan KPU, yakni yang pertama LPU sangat didominasi oleh pemerintah, sementara KPU, kecuali KPU pada pemilu 1999, sangat didomonasi oleh para tokoh non-partisan atau independen dari kalangan kampus. Dan KPU pada pemili 1999 didomonasi oleh kombinais antara kalangan partai politik dan pemerintah.

B.     Pelaksanaan Pemilu di Indonesia
a.       Pemilu 1955
Undang-Undang pemilu yang pertama kali dibuat di Indonesia pascamerdeka, yakni UU No. 7 tahun 1953[1] tentang pemilihan umum. Tujuan pemilu yang diselengagrakan pada tahun 1955, sebagaimana tercantum dalam perundang-undangannya, adalah; 1) menjelmakan kemauan/keinginan rakyat yang akan menjadi dasar kekuasaan penguasa; dan 2) membentuk konstituante yang akan menetapkan suatu UUD RI.
Adapun pelaksanaan pemilu dilakukan melalui dua tahap, yakni bulan  September 1955 untuk memilih anggota DPR; dan bulan Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota konstituante.[2]
Pemilu pertama yang dilaksanakan secara serentak di seluruh tanah air (kecuali Irian Barat) berjalan dengan sangat khidmat dan masih dalam suasana kemerdekaan. Pemilu pertama ini memperebutkan 257 kursi DPR. Pemilu diikuti oleh 15 daerah pemilihan.
Pemilu 1955 menjalankan sistem pemilihan secara langsung, yaitu seluruh warga negara Indonesia yang berumur 18 tahun atau sudah menikah mempunyai hak untuk memilih. Termasuk juga dalam ketentuan ini adalah angkatan perang/polisi tetap mempunyai hak yang sama untuk memilih. Bahkan, menariknya lagi bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1954,[3] dinyatakan bahwa bagi anggota angkatan perang/polisi yang sedang bertugas ketika pemungutan suara dapat dilakukan menyusul, selambat-lambatnya 15 hari setelah hari setelah pemungutan suara.

b.      Pemilu Orde Baru
Pada masa orde baru pemilu telah diselenggarakan sebanyak enam kali. Untuk pemilihan umum pertama sejak orde baru berdiri, atau pemilu kedua sejak Indonesia merdeka, yakni pemilu 1971 diikuti oleh 10 Organisasi Peserta Pemilu (OPP), yakni 9 partai politik dan satu Golongan Karya. Undang-Undang yang melandasi hukumnya adalah UU No. 15 tahun 1969 tentang Pemilihan Umum dan UU No. 16 tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.

1.      Pemilu 1971
Pasca 1971, penyelenggaraan pemilu yang periodik dan teratur mulai terlaksana. Pemilu ketiga diselenggarakan 6 tahun lebih setelah pemilu 1971, yakni tahun 1977. Setelah itu diselenggarakan sekali dalam 5 tahun. Sejak saat itulah pemilu teratur dilaksanakan. Satu hal yang nyata dalam pemili-pemilu sebelumnya adalah bahwa sejak pemilu 1977, pesertanya jauh lebih sedikit. Dua partai politik dan satu golongan karya. Ini terjadi setelah pemerintah bersama-sama dengan DPR berusaha menyederhanakan jumlah partai dengan membuat UU No. 3 tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar. Kedua partai tersebut adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan satu Golongan Karya (Golkar). Kedua partai tersebut merupakan penggabungan dari sembilan partai politik yang ikut dalam pemilu 1971. NU, PARMUSI, PSII, dan PERTI menggabungkan diri dalam PPP, dan selebihnya PNI, MURBA, PARKIDO, Partai Katolik, IPKI menggabungkan diri ke dalam PDI.[4]
Jadi, dalam 5 kali pemilu, yaitu pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, pesertanya hanya tiga. Hasilnya pun sama, Golkar selalu menjadi pemenang, sedangkan PPP dan PDI menjadi pelengkap atau sekedar ornamen. Golkar bahkan sudah menjadi pemenang sejak pemilu 1971. Keadaan ini secara langsung dan tidak langsuang membuat kesatuan eksekutif dan legislatif berada di bawah kontrol Golkar. Pendukung utama Golkar yaitu birokrasi sipil dan militer.

2.      Pemilu 1977
Pemilu 1977 diselenggarakan dengan berlandaskan pada UU No. 4 tahun 1975 tentang Pemilihan Umum pengganti UU No. 15 tahun 1969, dan UU No. 5 tahun 1975 pengganti UU No. 16 tahun 1969 tentang Susunan dan Kdudukan MPR, DPR, dan DPRD[5].
Cara pembagian kursi masih dilakukan seperti dalam pemilu 1971, yakni mengikuti sistem proporsional di daerah pemilihan. Dari suara yang sah, Golkar meraih prosentasi 62,11 %. Namun, perolehan kursinya menurun menjadi 232 kursi atau kehilangan 4 kursi dibandingkan pemilu 1971.
Pada pemilu 1977, suara PPP naik di berbagai daerah, bahkan di DKI Jakarta dan DI Aceh, PPP mengalahkan Golkar. Secara nasional, PPP berhasil meraih 99 kursi atau naik 2,17 %, atau bertambah 5 kursi dibanding dengan gabungan kursi 4 partai Islam dalam pemilu 1971. Kenaikan suara PPP terjadi di basis-basis Masyumi. Hal ini seiring dengan tampilnya tokoh utama Masyumi yang mendukung PPP. Akan tetapi, kenaikan suara PPP di basis-basis Masyumi diikuti pula oleh penurunan suara dan kursi di basis-basis NU, sehingga kenaikan suara secara nasional tidak begitu besar.

3.      Pemilu 1982
Dengan UU No. 2 tahun 1980 pengganti UU No. 4 tahun 1975 tentang Pemilihan Umum, Indonesia kembali menyelenggarakan Pemilihan Umumnya yang keempat pada tanggal 4 Mei 1982. pada pemilu ini perolehan suara dan kursi golkar secara nasional meningkat, tetapi gagal merebut kemenangan di Aceh. Hanya DKI Jakarta dan Kalimantan Selatan yang berhasil diambil golkar dari PPP. Secara nasional, golkar berhasil merebut tambahan 10 kursi dan itu berarti PPP dan PDI kehilangan masing-masing 5 kursi.
Adapun cara pembagian kursi pada pemilu ini tetap mengacu pada ketentuan pemilu 1971.

4.      Pemilu 1987
Dengan UU No. 1 tahun 1985 pengganti UU No. 2 tahun 1980, Indonesia menyelenggarakan Pemilihan Umum yang kelima pada 1987. Pemungutan suara pemilu 1987 secara serentak dilaksanakan pada tanggal 23 April 1987. suara yang sah mencapai 91,32 %. Cara pembagian kursi juga tidak berubah, yaitu tetap mengacu pada pemilu sebelumnya.
Pemilu kali ini menunjukkan kemerosotan terbesar PPP, yakni hilangnya 33 kursi dibandingkan pemilu 1982, sehingga hanya mendapat 61 kursi. Penyebabnya antara lain karena PPP tidak boleh lagi memakai asas Islam dan mengubah lambangnya, Ka’bah menjadi Bintang, serta terjadinya penggembosan oleh tokoh-tokoh unsur NU, terutama Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Sementara itu golkar memperoleh tambahan kursi 53 kursi sehingga menjadi 299 kursi. PDI, yang pada tahun 1986 dapat dikatakan mulai dekat dengan kekuasaan, sebagaimana diindikasikan dengan pembentukan DPP PDI hasil kongres 1986 oleh Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam, berhasil menambah perolehan kursi secara signifikan dari 30 kursi pada pemilu 1982 menjadi 40 kursi pada pemilu 1987.

5.      Pemilu 1992
Mengingat UU No. 1 tahun 1985 ini dianggap masih sesuai dengan perkembangan politik orde baru, tahun 1992 diselenggarakan pemilu yang keenam di Indonesia berdasarkan payung hukum yang sama dengan payung hukum sebelumnya. Pemungutan suaranya diselenggarakan secara serentak pada tanggal 9 Juni 1992.
Cara pembagian kursi untuk pemilu 1992 juga masih sama dengan pemilu sebelumnya.
Hasil pemilu ini dapat dikatakan agak mengagetkan banyak orang. Sebab, perolehan suara golkar kali ini merosot dibandingkan pemilu 1987. Jika pada pemilu 1987, perolehan suara golkar mencapai 73,16 %, pada pemilu 1992 ini turun menjadi 68,10 %. Oenurunan yang tampak nyata dapat dilihat pada perolehan kursi, yakni menurun dari 299 kursi menjadi 282, atau kehilangan 17 kursi dibandingkan dengan pemilu sebelumnya.
PPP juga mengalami hal yang sama, meskipun masih bisa menaikkan 1 kursi dari 61 pada pemilu 1987 menjadi 62 kursi pada pemilu 1992 ini. Di luar Jawa, suara dan kursi partai berlambang Ka’bah itu merosot. Pada pemilu 1992, partai ini kehilangan banyak kursi di luar Jawa meskipun ada penambahan kursi dari Jawa Timur dan Jawa Tengah. Malah partai iti tidak memiliki wakil sama sekali di 9 provinsi, termasuk 3 provinsi di Sumatra. PPP memang berhasil menaikkan perolehan 7 kursi di Jawa, tetapi karena kehilangan 6 kursi di Sumatra, partai itu hanya menaikkan 1 kursi secara nasional.
Yang berhasil menaikkan perolehan suara di berbagai daerah adalah PDI. Pada pemilu 1992 ini PDI berhasil meningkatkan perolehan 16 kursi diobandingkan pemilu 1987, sehingga menjadi 56 kursi. Ini artinya, dalam dua pemilu, yaitu 1987 dan 1992, PDI berhasil menambah kursinya di DPR RI.

6.      Pemilu 1997
Dengan payung hukum (undang-undang pemilu) yang sama dengan pemilu sebelumnya, Indonesia kembali menyelenggarakan pemilu ketujuh, yakni tahun 1997. pemungutan suaranya dilaksanakan pada tanggal 29 Mei 1997. sampai pemilu 1997, cara pembagian kursi yang digunakan masih menggunakan cara yang sama dengan pemilu sebelumnya.
Hasilnya menunjukkan bahwa setelah pada pemilu 1992 mengalami kemerosotan, kali ini golkar kembali merebut suara pendukungnya. Perolehan suaranya mencapai 74,51 %, atau naik 6,41 %. Sedangkan perolehan kursinya meningkat menjadi 325 kursi, atau bertambah 43 kursi dari hasil pemilu sebelumnya.
PPP juga menikamati hal yang sama, yaitu meningkat 5,43 %. Begitu pula, untuk perolehan kursi. Pada pemilu 1997, PPP meraih 89 kursi atau meningkat 27 kursi dibandingkan dengan pemilu 1992. Dukungan terhadap partai itu di Jawa sangat besar.
Adapun PDI, yang mengalami konflik internal dan menjadi pecah antara PDI Soerjadi dan PDI Megawati Soekarnoputri setahun menjelang pemilu, perolehan suaranya merosot 11,84 % dan hanya mendapat 11 kursi, yang berarti kehilangan 45 kursi di DPR dibandingkan pemilu 1992.
Pemilu kali ini banyak diwarnai berbagai protes. Protes terhadap kecurangan yang terjadi di banyak daerah. Bahkan, di Kabupaten Sampang, Madura, puluhan kotak suara dibakar massa karena kecurangan perhitungan suara dianggap keterlaluan. Ketika di beberapa tempat di daerah itu pemilu diulang pun, pemilih, khususnya pendukung PPP, tidak mengambil bagian.
Secara keseluruhan, berdasarkan penjabaran di atas, tampak bahwa pemenang dari setiap penyelenggaraan pemilu pada masa orde baru adalah golkar. Ini bisa dimengerti, karena golkar pada masa saat itu, bersama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan Birokrat, adalah mesin utama bagi pemeliharaan sekaligus penguatan pemerintahan rezim orde baru, di bawah kendali Soeharto. Kendaraan politik orde baru ini populer dikenal sebagai jalur ABG (ABRI, Birokrasi, dan golkar).

c.       Pemilu Era Reformasi
Pasca jatuhnya Soeharto, 21 Mei 1998, rakyat Indonesia telah menyelenggarakan dua kali pemilu sampai pemilu 2004. Dan yang terakhir adalah pemilu 2009, yang merupakan pemilu kesepuluh.
1.      Pemilu 1999
Seperti halnya pemilu-pemilu sebelumnya, pemilu 1999 ditujukan untuk memilih anggota DPR dan DPRD. Pemungutan suaranya dilaksanakan pada tanggal 7 Juni 1999. Pemilu ini diikuti oleh 48 partai dengan berlandaskan pada UU No. 2 tahun 1999 tentang Partai Politik dan UU No. 3 tahun 1999 tentang Pemilihan Umum. Pemilu 1999 ini disebut oleh berbagai kalangan sebagai pemilu paling demokratis setelah pemilu 1955. mengapa demikian? Karena pemilu 1999 diikuti oleh banyak partai, setelah sebelumnya dari satu pemilu ke pemilu berikutnya hanya terbatas pada 3 Organisasi Peserta Pemilu, seperti yang telah dijelaskan di atas.
Cara pembagian kursi pada pemilu kali ini tetap memakai sistem proporsional dengan mengikuti Varian Roget. Dalam sistem ini, sebuah partai memperoleh kursi seimbang dengan suara yang diperolehnya di daerah pemilihan. Akan tetapi, cara penetapan calon terpilih berbeda dengan pemilu sebelumnya, yakni dengan menentukan ranking perolehan suara satu partai di daerah pemilihan. Apabila sejak pemilu 1977, calon nomor urut pertama dalam daftar calon partai otomatis terpilih apabila partai tersebut mendapatkan kursi, kini calon terpilih ditetapkan berdasarkan suara terbesar atau terbanyak dari daerah seseorang dicalonkan.
Dengan demikian, seorang calon, misalnya si X, meskipun berada berada di urutan paling bawah dari daftar calon, kalau dari daerahnya partai yang mewakilinya mendapatkan suara terbesar, maka dialah yang terpilih. Untuk cara penetapan calon terpilih berdasarkan perolehan suara di Daerah Tingkat II ini sama dengan cara yang dipergunakan pada pemilu 1971.
Meskipun masa persiapannya tergolong singkat, pelaksanaan pemungutan suara pada pemilu 1999 ini bisa dilakukan sesuai jadwal. Tidak seperti yang diprediksikan dan dikhawatirkan banyak pihak sebelumnya, ternyata pemilu 1999 bisa terlaksana dengan damai, tanpa ada kekacauan yang berarti. Hanya di beberapa Daerah Tingkat II di Sumatra Utara yang pelaksanaan pemungutan suaranya terpaksa diundur satu pekan. Itu pun karena adanya keterlambatan atas datangnya perlengkapan pemungutan suara.

2.      Pemilu 2004
Pemilu ini berbeda dengan pemilu sebelumnya, termasuk pemilu 1999. Hal itu dikarenakan selain demokratis dan bertujuan memilih anggota DPR dan DPRD, pemilu 2004 juga memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung (sebelumnya Presiden dan Wakil Presiden dipilih oelh MPR). Selain itu, pada pemilu ini, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tidak dilakukan secara terpisah (seperti pemilu 1999). Pada pemilu ini, yang dipilih adalah pasangan calon  Presiden dan Wakil Presiden, bukan secara terpisah.
Pemilu 2004 ini dibagi menjadi maksimal tiga tahap (minimal dua tahap):[6]
(a)    Tahap pertama (Pemilu Legislatif) adalah pemilu untuk memilih partai politik (untuk persyaratan pemilu Presiden) dan anggotanya untuk dicalonkan menjadi anggota DPR, DPRD, dan DPD. Tahap pertama ini dilaksanakan pada tanggal 5 April 2004.
(b)   Tahap kedua (Pemilu Presiden putaran pertama) adalah untuk memilih pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden secara langsung. Tahap kedua ini dilaksanakan pada tanggal 5 Juli 2004.
(c)    Tahap ketiga (Pemilu Presiden putaran kedua)adalah babak terakhir yang dilaksanakan hanya apabila tahap kedua, belum ada pasangan calon yang mendapatkan suara lebih dari 50%[7]. Tahap ketiga ini dilaksanakan pada tanggal 20 September 2004.

3.      Pemilu 2009
Pemilu kali ini tidak berbeda dengan pemilu 2004 yang memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung dan tidak terpisah.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dalam pemilu-pemilu yang terjadi di Indonesia tidak selamanya selalu sama, sejak pemilu pertama dilaksanakan, yaitu pada tahun 1955 hingga saat ini, banyak perubahan-perubahan yang terjadi. Mulai dari perubahan landasan pada tiap pelaksanaan pemilu sampai pada jumlah partai politik yang mengikuti pemilu tersebut, yang telah dipaparkan di atas.


DAFTAR PUSTAKA
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik (edisi revisi). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Gatara, Sahid. 2008. Ilmu Politik (Memahami dan Menerapkan). Bandung: Pustaka Setia.
Syafii, Inu Kencana. 1997. Ilmu Politik. Jakarta: PT. Rineka Cipta.



[1] Sahid Gatara, Ilmu Politik: Memahami dan Menerapkan. Hal. 221
[2] Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (edisi revisi). Hal. 473
[3] Sahid Gatara, Ilmu Politik: Memahami dan Menerapkan. Hal. 222
[4] Sahid Gatara, Ilmu Politik: Memahami dan Menerapkan. Hal. 225
[5] Sahid Gatara, Ilmu Politik: Memahami dan Menerapkan. Hal. 225
[6] Sahid Gatara, Ilmu Politik: Memahami dan Menerapkan. Hal. 234
[7] bila keadaannya demikian, dua pasangan calon yang mendapatkan suara terbanyak akan diikutsertakan pada pemilu Presiden putaran kedua. Akan tetapi, bila ada pemilu Presiden putaran pertama sudah ada pasangan calon yang mendapatkan suara lebih dari 50%, pasangan calon tersebut akan langsung diangkat menjadi Presiden dan Wakil Presiden

Tidak ada komentar:

Posting Komentar