Senin, 09 Mei 2011

norma dan lembaga sosial


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Banyaknya kriminalitas yang terjadi membuat kita perlu membahas tentang norma- norma dan lembaga sosial atau lembaga kemasyarakatan. Di dalam masyarakat manusia selalu ada, dan selalu dimungkinkan adanya, apa yang disebut double reality. Di satu pihak ada sistem fakta, yaitu sistem yang tersusun atas segala apa yang senjatanya di dalam kenyataan ada, dan di lain pihak ada sistem normatif, yaitu sistem yang berada di dalam mental yang membayangkan segala apa yang seharusnya ada.
Sistem fakta dan sistem normatif di atas itu sesungguhnya bukan realita yang identik. Namun, meskipun tidak identik, kedua realitas itu pun sama sekali tidak saling berpisahan. Antara keduanya ada pertalian yang erat; secara timbal balik, yang satu amat memengaruhi yang lainnya.
Pertama- tama, sistem fakta berfungsi sebagai determinan sistem normatif. Artinya, bahwa apa yang dibayangkan di dalam mental sebagai suatu keharusan itu sesungguhnya adalah sesuatu yang di alam kenyataan merupakan sesuatu yang betul- betul ada, dan atau yang mungkin ada. Norma atau keharusan selalu dipertimbangkan dalam kenyataan dan mempertimbangkan pula segala kemungkinan- kemungkinan yang ada dalam situasi fakta. Orang tidak akan mungkin diwajibkan melakukan tindakan yang tidak akan dikerjakan oleh orang pada umumnya.
Sementara itu, di lain pihak sistem normatif pada gantinya balik memengaruhi sistem fakta (kenyataan). Di dalam hal ini, wujud dan bentuk perilaku- perilaku kultural yang di alam kenyataan ditentukan oleh pola- pola kultural[1] yang telah diketahui apriori[2] di dalam mental sebagai keharusan- keharusan yang harus dikerjakan. “Mengapa perilaku- perilaku pada kenyataannya berhal demikian” itu tidak lain adalah karena “sistem dan tertib” normatifnya memang mengharuskan hal dan keadaan yang demikian itu. Dengan jalan membebankan keharusan- keharusan yang disebut norma- norma sosial itu, maka secara keseluruhan dapat diwujudkan suatu aktifitas bersama yang tertib yang dapat digerakkan secara efektif ke arah pemenuhan keperluan- keperluan dan hajat- hajat hidup masyarakat.

B. Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari norma dan lembaga sosial?
2.      Apa hubungan norma dan lembaga sosial?
3.      Apa pengaruh norma- norma pada masyarakat pada umumnya?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Norma Sosial
Norma ialah “suatu petunjuk, perintah, atau anjuran untuk mengatur kelakuan anggota kelompok. Norma dapat bersifat positif dan juga bersifat negatif”.[3] Di dalam kenyataan sehari- hari, kehidupan sosial manusia tidaklah hanya berwujud suatu jumlah perilaku dan hubungan- hubungan antarmanusia di alam kenyataan ini saja, melainkan sekaligus juga berwujud suatu sistem determinan yang disebut sistem norma. Apabila perilaku- perilaku riil warga masyarakat dapat kita amati wujudnya yang konkret di alam fakta, norma- norma determinan yang mendasari perilaku- perilaku riil itu dapat kita hayati di alam ide masyarakat. Memahami perilaku dan hubungan- hubungan anatarmanusia sebagaimana wujudnya di alam fakta yang riil saja jelas belum cukup sempurna; begitu pula memahami bagaimana perilaku- perilaku dan hubungan- hubungan anatarmanusia di dalam masyarakat itu seharusnya menurut norma- norma saja belum cukup sempurna.
Norma- norma kemasyarakatan memberikan petunjuk bagi seseorang yang hidup di dalam mayarakat.[4] Norma- norma sosial atau norma- norma kemasyarakatan itu dalam prakteknya mempunyai lemah kuatnya mengikat kepada anggota- anggotanya. Tingkatan lemah- kuatnya norma- norma itu menunjukkan kekuatan yang dapat digunakan untuk memaksa kepada seseorang (para anggota masyarakat) untuk mentaati aturan yang terkandung di dalamnya.
Ada berbagai macam jenis norma- norma sosial, yang tak selamanya dapat mudah dibedakan satu sama lain. Oleh karena itulah usaha- usaha meangadakan klasifikasi yang sistematis amatlah sukar. Satu diantara usaha- usaha ini mencoba membedakan norma- norma sosial disokong oleh sanksi- sanksi yang tidak seberapa berat serta tidak mengancamkan ancaman- ancaman fisik, sedangkan satu golongan lagi berlaku dengan sokongan- sokongan sanksi- sanksi yang berat serta disertai dengan ancaman- ancaman fisik.
Ada satu pembedaan lagi yang mencoba membedakan norma- norma sosial itu atas dasar bagaimana masing- masing norma itu dilahirkan dan berlaku di dalam masyarakat. Ditanyakan, apakah norma- norma itu dilahirkan secara sengaja lewat perundang- undangan, ataukah lahir secara berangsur- angsur tanpa disadari lewat kebiasaan- kebiasaan dan praktik- praktik hidup kemasyarakatan. Namun, cara apa pun juga yang ditempuh untuk membedakan norma- norma itu satu sama lain ialah bahwa batas pembedaan satu sama lain tidak selamanya jelas. Norma- norma dalam masyarakat dapat diklasifikasi sebagai berikut:
1.      Usage (cara)
Ialah bentuk perbuatan atau kebiasaan bertingkah laku. Usage lebih menonjol di dalam hubungan antarindividu di dalam masyarakat. Suatu penyimpangan terhadapnya tidak akan mengakibatkan hukuman yang berat, paling- paling hanya celaan saja dari pribadi (individu) lain. Misalnya, tata cara berbicara (berpendapat) di dalam musyawarah warga, ada yang berbicara dengan penuh wibawa dan ada juga yang cara berbicaranya dengan berapi- api. Dalam cara yang terakhir biasanya dianggap kurang sopan. Dan untuk hal itu, tidak ada hukuman, mungkin hanya dicela saja.
2.      Folkways (kebiasaan)
Diterjemahkan menurut arti kata- katanya, folkways berarti tata cara (ways) yang lazim dikerjakan atau diikuti oleh rakyat kebanyakan (folk). Di dalam literatur- literatur sosiologi, folkways dimaksudkan untuk menyebutkan seluruh norma- norma sosial yang terlahir dari adanya pola- pola perilaku yang selalu diikuti oleh orang- orang kebanyakan-di dalam hidup mereka sehari- harinya-karena dipandang sebagai suatu hal yang lazim. Folkways juga bisa diartikan sebagai perbuatan yang diulang- ulang dalam bentuk yang sama, yang diakui dan diterima masyarakat.
Folkways mempunyai kekuatan mengikat yang lebih besar daripada usage. Adalah bukti bahwa orang- orang lebih banyak menyukai folkways karena merupakan perbuatan yang diulang- ulang dalam bentuk yang sama. Misalnya, kebiasaan memakai celana panjang jika seseorang pergi ke kantor, tetapi ada seseorang yang memakai sarung-contoh-ke kantor, maka perbuatan tersebut-dia memakai sarung-akan dianggap sebagai suatu penyimpangan.
3.      Mores (tata kelakuan)
Mores bisa diartikan sebagai kebiasaan yang diterima sebagai norma pengatur. Oleh karena itu selalu dipertahankan oleh ancaman sanksi- sanksi yang lebih keras. Pelanggaran terhadap mores selalu disesali dengan sangat, dan orang selalu berusaha dengan amat kerasnya agar mores tidak dilanggar.
Kesamaan mores dan folkways terletak pada kenyataan bahwa kedua- duanya tidak jelas asal- usulnya, terjadi tidak terencana. Dasar eksistensi[5]nya pun tidak pernah dibantah, dan kelangsungannya-karena didukung tradisi-relatif amat besar. Kesamaan lain ialah bahwa kedua- duanya dipertahankan oleh sanksi- sanksi yang bersifat informal[6] dan komunal[7], berupa sanksi spontan dari kelompok sosial dimana kaidah- kaidah tersebut hidup. Walaupun ada kesamaan- kesamaan antara folkways dan mores, namun mores dipandang sebagai hakikat dari kebenaran. Mores adalah segala norma yang secara moral dipandang benar. Pelanggaran terhadap mores selalu dikutuk sebagai sesuatu hal yang secara moral tidak dibenarkan. Mores tidak memerlukan dasar pembenaran, karena mores itu sendiri adalah sesuatu yang sungguh- sungguh telah bernilai benar. Mores tidak bisa diganggu gugat untuk diteliti benar-tidaknya; sedangkan folkways-di lain pihak-, benar- tidaknya masih agak leluasa untuk diperbantahkan.
4.      Custom (adat istiadat)
Ialah tata kelakuan yang kekal serta kuat integritas[8]nya dengan pola- pola perilaku masyarakat dan dapat meningkat kekutan mengikatnya. Jika dilanggar, maka sanksinya berwujud nestapa baginya. Misalnya, hukum adat yang melarang terjadinya perceraian, kecuali jika salah satu dari kedua orang itu meninggal, karena pernikahan dianggap sesuatu yang bersifat abadi. Apabila terjadi perceraian, maka bukan hanya yang bersangkutan yang namanya tercemar, seluruh keluarga atau ketururnannya akan ikut tercemar. Biasanya orang yang melanggar akan dikucilkan dari masyarakat.
5.      Hukum[9]
Masih ada beberapa masyarakat agraris yang primitif, kecil, terisolasi yang keadaan tertibnya cukup dijamin oleh adanya folkways dan mores saja. Masyarakat- masyarakat demikian ini lazimnya kecil- kecil saja, terdiri atas beberapa puluh jiwa, dimana para warga masyarakatnya dengan mudah dapat mengenali dan saling berkenalan dengan eratnya. Di dalam keadaan demikian itu maka apa yang dilakukan oleh salah satu masyarakat itu dengan segera akan dapat pula diketahui oleh seorang warga yang lain, dan karena itu mendapatkan sorotan perhatian.
Kenyataannya tidak semua masyarakat dapat menegakkan ketertiban secara apa yang dilakukan oleh masyarakat- masyarakat kecil dan terisolasi seperti itu. Pada masyarakat umumnya, diperlukan pula adanya segugus kaidah yang lain, yang lazim disebut hukum, untuk menegakkan keadaan tertib sosial. Berbeda halnya dengan folkways dan mores, pada hukum didapati adanya organisasi-politik khususnya, yang secara moral dan berprosedur bertugas memaksakan ditaatinya kaidah- kaidah sosial yang berlaku. Inilah organisasi yang lazim dikenal nama badan peradilan. Apabila suatu mores memerlukan kekuatan organisasi peradilan semacam itu agar penataannya bisa dijamin, maka sesegera itu pula mores itu telah bisa dipandang sebagai hukum. Di sisi lain, karena mores itu tak lain adalah kaidah- kaidah yang tak tertulis, maka hukum yang dijadikan dari mores-dengan ditunjang oleh wibawa suatu struktur kekuasaan politik-ini pun lalu merupakan hukum yang tidak tertulis (hukum adat, costumary law).
6.      Nilai[10]
Nilai adalah gagasan mengenai apakah suatu pengamalan itu berarti atau tidak berarti Nilai pada hakikatnya mengarahkan perilaku dan pertimbangan seseorang, tetapi ia tidak menghakimi apakah sebuah perilaku tertentu itu salah atau benar.
Nilai adalah suatu hal yang penting dari kebuadayaan. Suatu tindakan dianggap sah –secara moral dapat diterima-kalau harmonis dengan nilai- nilai yang disepakati dan dijunjung oleh masyarakat dimana tindakan itu dilakukan. Ketika nilai yang berlaku menyatakan bahwa kesalehan beribadah adalah sesuatu yang harus dijunjung tinggi, maka bila ada orang yang malas beribadah tentu akan menjadi bahan pergunjingan.
B. Proses diterimanya Norma- norma ke Dalam Lembaga Sosial
Setelah norma- norma tersebut diatas tidak begitu saja menjadi bagian dari lembaga sosial. Meskipun pada akhirnya akan menjadi bagian tertentu dari lembaga soaial (kemasyarakatan), norma- norma tersebut akan melalui proses tertentu. Proses tersebut dinamakan proses pelembagaan (institutionalization process), yaitu suatu proses yang dilewatkan oleh suatu norma yang baru untuk menjadi bagian dari lembaga kemasyarakatan. Suatu norma tertentu dikatakan dikatakan telah melembaga (intitutionalized) apabila:
1.      Diketahui;
2.      Dipahami atau dimengerti;
3.      Ditaati; dan
4.      Dihargai.
C. Sistem Pengendalian/Pengawasan (Sosial Control)
Agar anggota masyarakat menaati norma yang berlaku, diciptakan sistem pengawasan sosial (sosial control), yakni sistem yang dijalankan masyarakat agar selalu disesuaikan dengan nilai- nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Pengendalian sosial dapat dilakukan oleh individu terhadap individu lainnya (misalnya, seorang ibu mendidik anak- anaknya untuk menyesuaikan diri pada kaidah- kaidah dan nilai- nilai yang berlaku) atau mungkin dilakukan oleh individu terhadap suatu kelompok sosial (misalnya, seorang dosen memimpin beberapa orang mahasiswa di dalam kuliah- kuliah kerja).
Dengan demikian, pengendalian sosial terutama bertujuan untuk mencapai keserasian antara stabilitas dengan perubahan- perubahan dalam masyarakat. Atau, suatu sistem pengendalian sosial yang bertujuan untuk mencapai keadaan damai melalui keserasian antara kepastian dengan keadilan/kesebandingan.
Cara pengawasan/pengendalian sosial, dilakukan dengan:
1.      Mempertebal keyakinan anggota masyarakat akan kebaikan nilai- nilai dan norma- norma yang berlaku;
2.      Memberikan penghargaan kepada setiap anggota masyarakat yang taat kepada norma- norma yang berlaku;
3.      Mengembangkan rasa malu dalam diri atau jiwa anggota masyarakat apabila menyimpang dari norma yang berlaku;
4.      Menimbulkan rasa takut;
5.      Menciptakan sistem hukum, yaitu tata tertib dengan sanksi (pidana) yang tegas kepada para pelanggarnya.
D. Lembaga Kemasyarakatan (Sosial Institution)
Lembaga kemasyarakatan mengandung pengertian adanya bentuk yang sekaligus juga mengandung pengertian yang abstrak[11] berupa norma- norma dan aturan- aturan tertentu yang menjadi ciri lembaga kemasyarakatan itu. Ciri- ciri dari lembaga kemasyarakatan tersebut yaitu:
1.      Suatu lembaga kemasyarakatan adalah suatu organisasi pola- pola pemikiran dan perilaku yang terwujud melalui aktifitas- aktifitas kemasyaratakan dan hasil- hasilnya.
2.      Suatu tingkat kekekalan tertentu merupakan ciri semua lembaga kemasyarakatan.
3.      Lembaga kemasyarakatan mempunyai satu atau beberapa tujuan tertentu.
4.      Lembaga kemasyarakatan mempunyai alat- alat perlengkapan yang dipergunakan untuk mencapai tujuan lembaga yang bersangkutan.
5.      Lembaga biasanya juga merupakan ciri khas lambaga kemasyarakatan.
6.      Suatu lembaga kemasyarakatan mempunyai suatu tradisi tertulis atau tidak tertulis.
Lembaga- lembaga atau institusi tidak lain adalah perwujudan dari norma- norma dan aturan- aturan sosial yang terdapat di masyarakat dalam berbagai segi kehidupan. Contoh dari lembaga kemasyarakatan ialah:
1.      Bidang ekonomi: lembaga hak milik, lembaga bank, lembaga koperasi, CV, dan lain- lain.
2.      Bidang pendidikan: pesantren, madrasah, sekolah, akademi, universitas, dan lain- lain.
3.      Bidang agama: masjid, gereja, wakaf, dan lain- lain.
4.      Bidang politik: desa, kecamatan, DPR, MPR, dan lain- lain.
5.      Bidang keluarga: perkawinan, dan lain- lain.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian diatas, dapat kita ketahui kehidupan di masyarakat menumbuhkan norma- norma yang, secara langsung atau tidak, secara sadar atau tidak sadar, mengikat kita untuk mempunyai rasa toleransi antar sesama tanpa menyingkirkan hak- hak masyarakat yang lain. Dan itu semua diatur oleh norma- norma di lingkungan dimana masyarakat itu hidup.
Setiap norma yang dilanggar akan mendapatkan hukuman sesuai perbuatan yang dilakukan. Dan dimana ada norma- norma, pasti terdapat lembaga- lembaga yang mengatur dan mengawasnya. Tidak semua norma- norma bisa diterima dengan langsung, norma- norma tersebut akan melalui proses yang sudah ada.
B. Saran
Hendaknya semua norma- norma yang sudah ada diakui, dipahami, dihargai, dan diketahui keadaannya agar tidak ada perilaku menyimpang. Meskipun setiap norma pasti akan dilanggar oleh masyarakat, akan tetapi sebagai masyarakat yang sudah mengetahui norma- norma yang berlaku, kita tidak melanggarnya. Sebab, semakin sedikit norma- norma yang dilanggar, semakin bagus penilaian yang kita dapat, dan semakin menjadi identitas negara yang baik.

DAFTAR PUSTAKA
Soekanto, soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Gravindo Persada. 2007.
Narwoko, j. Dwi & Bagong Suyanto. Sosiologi: teks pengantar dan terapan. Jakarta: Kencana. 2007.
Asyari, imam. Pengantar Sosiologi. Surabaya: Usaha Nasional. 1983.
Riwayadi, susilo dan Nur Anisyah, suci. Kamus Populer. Suarabaya: Sinar Terang.



[1] Kebudayaan
[2] Apriori: ketidak pedulian
[3] Drs. S. Imam Asyari, pengantar sosiologi. Hlm.107
[4] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar. Hlm.174
[5] keberadaan;wujud (yang tampak); sesuatu yang membedakan antara sesuatu benda dengan benda yang lain
[6] Tidak resmi; bersifat pribadi
[7] Bersama; umum
[8] Kesepurnaan; kesatuan; kejujuran; tak bersuap
[9] J.Dwi Narwoko-Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Hlm.52
[10] J.Dwi Narwoko-Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Hlm.52
[11] Tak berwujud

Tidak ada komentar:

Posting Komentar